Aku menulis ini sambil menoleh ke belakang, ke 2024 tahun yang jujur saja, cukup membuatku sakit. Banyak hal yang belum sepenuhnya sembuh saat itu, dan rasanya aku masuk ke 2025 dengan tubuh dan hati yang masih memar. Tapi kalau harus memberi nama pada 2025, mungkin ini adalah tahun mencari. Dan perlahan, tahun penyembuhan.
Awal 2025 tidak berjalan ringan. Januari - Februari aku menjalani operasi. Di saat yang sama, ada perasaan bersalah yang terus mengendap karena aku merasa membuat mamaku sangat sedih. Berat badanku turun cukup banyak, dan aku tahu itu mengkhawatirkannya. Aku pun mempertanyakan diriku sendiri kenapa aku terasa tidak cukup kuat untuk melawan semua masalah ini? Kenapa tubuh dan pikiranku seolah menyerah lebih dulu?
Memasuki Maret hingga September, aku mencoba cara lain untuk bertahan: menyibukkan diri. Aku menghabiskan banyak energi untuk hal-hal yang sebenarnya aku suka. Aku ikut berbagai komunitas, menghadiri workshop, dan dengan sengaja keluar dari zona nyamanku. Dari luar, mungkin terlihat seperti proses bertumbuh. Tapi di dalam, aku benar-benar kelelahan. Aku terus berjalan tanpa benar-benar bertanya: apa yang sebenarnya aku butuhkan?
Baru di akhir September hingga penghujung tahun ini, aku mulai berhenti. Bukan karena semuanya selesai, tapi karena akhirnya aku mau mendengarkan diriku sendiri. Aku sadar, aku tidak selalu perlu mencari kesibukan meskipun kesibukan itu terdengar baik dan produktif hanya untuk mengalihkan rasa sakit. Ada hal yang selama ini aku abaikan, padahal justru paling dibutuhkan: diam.
Diam untuk meresapi. Diam untuk mengenali di mana letak sakitnya. Diam untuk jujur pada diri sendiri tentang apa yang harus dilakukan. Jika sedih, menangislah. Tidak semua rasa sakit harus segera dihilangkan. Tidak semua luka perlu buru-buru ditutup.
Ada satu momen yang rasanya seperti tamparan bertubi-tubi, membuatku berpikir keras tentang diriku sendiri. Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu keras bukan hanya pada diriku, tapi juga pada orang lain. Ketegasanku, yang mungkin aku anggap wajar, bisa jadi tanpa sadar melukai. Aku merenungi hal-hal yang mungkin terlewat, kata-kata yang mungkin terlalu tajam, dan perasaan orang-orang di sekitarku yang barangkali pernah terluka karenaku.
Dari perenungan itu, pelan-pelan aku menemukan sesuatu yang selama ini aku cari-cari. Obatnya. Jawabannya.
Aku menemukannya saat aku kembali mendekat pada Sang Pencipta. Di sana, aku menemukan ketenangan yang tidak kutemukan di mana pun. Bukan berarti semua masalah hilang, tapi hatiku menjadi lebih lapang untuk menerimanya. Aku belajar bahwa penyembuhan tidak selalu berarti menjadi kuat setiap saat. Kadang, penyembuhan justru berarti berserah.
Menutup 2025, aku tidak membawa cerita kemenangan besar. Tapi aku membawa kesadaran. Dan mungkin, itu sudah cukup.

Posting Komentar
Posting Komentar